Penting Itu, Pikiran Suci! Bukan Badan Suci!
Oktober 24, 2016 Tinggalkan komentar
Belakangan ini jika kita simak dengan baik, banyak sekali kita diganggu dengan isu-isu intoleransi di Indonesia. Utamanya jelang Pilkada serentak Pebruari 2017 nanti.
Isu SARA secara masif dan terstruktur dihembuskan, tidak hanya di tempat tertentu, di media elektronik maupun media massa kita dipertontonkan setiap harinya intoleransi ini. Dengan balutan diskusi publik, mereka dengan gamblangnya memaki, dan lain-lain. Entah apa kerjaan KPI kita, hal begini dibiarkan saja. Mohon maaf ini ya, bukan maksud apa-apa. Coba kalau jaman pak Harto orang bicara memecah belah bangsa seperti ini? Ooo… lewat sudah!! Justru di jaman Reformasi ini, malah kebablasan.
Orang sok pintar semakin banyak. Orang sok suci pun semakin banyak. Berkedok ayat-ayat suci berkomentar angin ribut, sempoyongan! Hanya mengejar popularitas dan undangan TV-TV, serta dakwah kesana kemari yang ujung-ujungnya “UANG”.
Banyak orang Indonesia kehilangan jati diri (nusantara)nya hanya karena agama. Ini pengaruh keyakinan import. Budayanya sendiri dilupakan demi tampilan luar yg ‘agamais’, nampak ‘suci’, yang sujatinya KOSONG.
Orang Indonesia sibuk menghias badannya dengan atribut import sesuai agama masing-masing. Sarung diganti baju model daster, atau celana panjang di atas mata kaki, kamen diganti kain sari, udeng diganti kuncir, atau bahkan yang lainnya. Mana Indonesiamu? Mana Nusantaramu?
Tapi, tak pantas sepertinya saya membahas hal seperti ini, apalagi saya bukan orang yang pintar agama, hafal ayat-ayat atau yg lainnya. Kepercayaan nenek moyang saya hanya mengajarkan saya untuk selalu berfikir, berkata, dan berbuat yang baik. 3 hal inilah oleh leluhur saya menjadi ajaran kuat yang diwariskan oral, dari mulut ke mulut. Di mana sujatinya esensi orang beragama adalah membuat nyaman orang disekitarnya, tiada mengganggu, dan tiada menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain dan lingkungan/semesta. Simpel!!! Semua berasal dari PIKIRAN yang suci, Positif thinking, bukan dari badan yg nampak suci dg hiasan-hiasan agama. Itu!
Mungkin sebagai gambaran, saya ada sebuah cerita yang mungkin bisa membuka sedikit pemahaman kita, penting mana? Pikiran suci atau Badan Suci? Cerita ini mungkin ada yang agak mitosnya, karena menceritakan setelah kematian, namun justru disitu letak kesadarannya. Yuk simak.
Pertapa dan Pelacur
Seorang pertapa tinggal diasramnya dan di seberang jalan tepat berhadapan dengan asramnya ada rumah bordil di mana tinggal seorang pelacur. Setiap hari ketika pertapa akan melakukan meditasi, dia melihat para lelaki datang dan pergi dari dan ke rumah pelacur itu. Dia melihat pelacur itu sendiri menyambut dan mengantar tamu-tamunya. Setiap hari pertapa itu membayangkan dan merenungkan perbuatan memalukan yang berlangsung di kamar pelacur itu, dan hatinya dipenuhi oleh kebencian akan kebobrokan moral dari pelacur itu.
Di lain pihak. Sang pelacur setiap hari melihat sang pertapa dalam praktek-praktek spiritualnya (sadhana). Dia berpikir betapa indahnya untuk menjadi demikian suci, untuk menggunakan waktu dalam doa dan meditasi. “Tapi” dia mengeluh, “Aku tak berdaya, nasibku memang menjadi pelacur. Ibuku dulu adalah seorang pelacur, dan putriku nanti juga akan menjadi pelacur. Demikianlah hukum negeri ini,” dengan pilunya dia meratap.
Tanpa diceritakan apa yang terjadi. Pertapa dan pelacur itu mati pada hari yang sama dan berdiri di depan Sang Hyang Yama bersama-sama. Tanpa diduga sama sekali, di depan meja keadilan Sang Hyang Yama (Hakim Akhirat) pertapa itu dicela karena kesalahannya.
“Tapi”, petapa ini memrotes, “hidupku adalah hidup yang suci. Aku telah menghabiskan hari-hariku untuk doa dan meditasi.”
“Ya,” kata Yama, “tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan suci itu, pikiran dan hatimu dipenuhi oleh penilaian jahat dan jiwamu dikotori oleh bayangan penuh nafsu.”
Beda dengan pelacur itu. Dia dipuji karena kebajikannya.
“Saya tidak mengerti wahai Yama? Selama hidupku aku telah menjual tubuhku kepada setiap lelaki yang memberikan harga pantas.”Yama pun menjawab, “Lingkungan hidupmu menempatkan kamu dalam sebuah rumah bordil. Kamu lahir di sana, dan di luar kekuatanmu untuk melakukan selain dari hal itu. Tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan hina, pikiran dan hatimu selalu suci dan senatiasa dipusatkan dalam kontemplasi dan kesucian dari doa dan meditasi pertapa ini.”
———————
Dua kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri. Chin-Ning Chu memberi nasehat : “Kebajikan”, katanya “bukanlah jubah yang engkau kenakan, atau gelar-gelar mulia yang engkau berikan kepada dirimu untuk dipamerkan kepada umum!”.
Jadi? Apa yang bisa kita petik dari pelajaran hari ini?